Ini Beda Singkong untuk Industri dengan Konsumsi
Secara umum, singkong dibagi menjadi dua kelompok, yaitu untuk industri dan konsumsi.
SariAgri – Indonesia memiliki banyak varietas ubi kayu atau singkong. Jenis Singkong yang paling banyak dibudidayakan adalah Adira. Umumnya singkong jenis ini memiliki umbi berwarna kuning dan sering diolah menjadi tape.
Selain itu, Singkong Lampung dan Gajah juga banyak dibudidayakan. Secara umum, singkong dibagi menjadi dua kelompok, yaitu untuk industri dan konsumsi.
Pakar Pangan Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof Edi Santoso menjelaskan singkong untuk industri tidak terlalu mempermasalahkan kandungan Hidrogen Sianida (HCN) atau asam sianida. Sebaliknya, singkong konsumsi kandungan HCN-nya harus rendah.
“Biasanya ada dua grup, singkong untuk indsutri biasaya kandungan HCN-nya nggak dipermasalahkan. Kalau singkong konsumsi kandungan HCN yang bikin mabuk dan pahit itu harus rendah,” ujarnya kepada SariAgri.id, Senin (27/4/2020).
HCN merupakan senyawa di dalam singkong yang rasanya pahit. Senyawa ini dapat berubah menjadi racun, jika kandungannya melewati batas aman.
Singkong untuk industri
Edi mengatakan industri khususnya skala besar menginginkan harga murah untuk kualitas singkong terbaik. Kondisi ini dikhawatirkan para Petani karena jika harga terlalu mahal, tidak ada yang membeli produk mereka.
“Kalau untuk industri masih menjadi masalah. Karena, hal yang sangat mengkhawatirkan petani singkong untuk industri itu, kalau nggak ada yang membeli. Sementara industri mengingingkan harga singkong yang layak dengan harga produksinya, karena industri ada hasil akhrnya dan hasil akhirnya ada harganya atau harga tertentu,” jelasnya.
Menurut Edi, industri menginginkan harga singkong untuk bahan baku tidak terlalu mahal. Harapannya mereka dapat menjual hasil produksi dengan harga lebih murah di pasaran.
“Jadi, kalau harga terlalu mahal, nggak akan ada yang beli produk mereka. Jadi, mereka mengharapkan harga dari tingkat petani jangan terlalu mahal. Sekarang belum tahu harga pasaran berapa, tapi kalau bulan Februari harganya Rp1200-Rp.1300 per kilo itu untuk kategori industri dan itu sudah terlalu mahal. Kalau industri maunya paling mahal Rp700,” katanya.
Dia menambahkan, saat ini sebagian besar petani singkong masih menyewa Lahan untuk menanam. Hal ini menyebabkan harga jual singkong menjadi mahal.
“Sebagian besar, penanam singkong itu banyak yang menyewa lahan. Jadi otomatis harga sewanya dimasukkan, dari sisi struktur biaya itu menjadi besar. Mereka mengatakan, BEP-nya sekitar Rp1000-an per kilo. Jadi, kalau Rp1000 terlalu berat,” pungkasnya.
Sumber : https://pangan.sariagri.id/55961/ini-beda-singkong-untuk-industri-dengan-konsumsi
No Comments